NAMA : INNE NUR HAMZAH
NPM : 23209110
KELAS : 4 EB 19
SOFTSKILL AKUNTANSI INTERNASIONAL
Memahami Kasus
L/C Bank BNI dari Aspek Teknis Perbankan
KASUS manipulasi surat kredit (letter of credit) yang
terjadi di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk makin banyak diberitakan di
berbagai media cetak dan elektronik. Pemberitaan yang makin meluas tersebut
bukannya makin membuat kejelasan bagi masyarakat mengenai apa yang sebenarnya
terjadi, tetapi makin membingungkan. Banyak pertanyaan timbul bagi orang awam
yang menyangkut teknik operasionalisasi L/C dan aspek hukumnya. Dalam tulisan
ini, penulis akan memberikan ulasan mengenai kasus ini dilihat dari teknik
perbankan yang menyangkut operasionalisasi L/C dan aspek hukumnya.
KASUS bermula dari diterimanya L/C bernilai Rp 1,7
triliun oleh Bank BNI Cabang Kebayoran Baru. L/C tersebut dibuka oleh bank-bank
yang selain bukan merupakan koresponden Bank BNI, juga bank-bank yang berasal
dari negara-negara dalam kategori berisiko tinggi (high risk countries).
Bank-bank
tersebut adalah Dubai Bank Kenya Limited; Rosbank Switzerland SA; Middle East
Bank Kenya Ltd; dan The Wall Street Banking Corp, Cook Islands Beneficiary
(eksportir). Sementara yang menerima L/C adalah perusahaan-perusahaan dalam
Gramarindo Group dan Petindo Group. Komoditas yang diekspor adalah pasir kuarsa
dan residu minyak dengan negara tujuan Kenya dan beberapa negara di
Afrika.
Apa
yang seharusnya dilakukan kantor cabang bank penerima L/C (dalam hal ini BNI
Kebayoran Baru) ketika menerima dan menegosiasi L/C tersebut? Bank BNI memiliki
buku pedoman perusahaan (BPP) yang merupakan buku pegangan kerja bagi setiap
petugas, termasuk sistem pengamanan L/C.
Sebelum
L/C tersebut diteruskan kepada eksportir, pertama-tama yang harus dilakukan
Bank BNI Kebayoran Baru adalah membuat/mengisi work sheet. Work sheet tersebut
merupakan lembaran catatan bank yang akan selalu diisi dan menjadi pedoman
petugas-petugas bank dalam menangani L/C tersebut, yaitu mulai dari saat L/C
itu diterima sampai saat L/C itu dinegosiasikan dan dibayar.
Dengan
kata lain, work sheet itu harus selalu berada di dalam pending file. Dalam work
sheet itu harus dicatat hal-hal yang menyangkut rincian L/C.
Antara
lain siapa bank pembuka (issuing atau opening bank), nomor dan tanggal L/C,
siapa eksportirnya, untuk komoditas apa (barang yang diekspor), berapa jumlah satuan
atau beratnya, berapa nilainya dan dalam mata uang apa, batas waktu L/C (expiry
date), dan batas waktu tanggal bill of lading (dokumen pengangkutan kapal).
Selain
itu, dicatat pula apa syarat-syarat L/C, antara lain apakah L/C itu merupakan
usance L/C (artinya, wesel
ekspor yang harus dibuat eksportir adalah wesel
ekspor berjangka yang harus dibayar importir dalam jangka waktu tertentu,
misalnya 90 hari setelah wesel
itu diterima importir).
Atau
L/C tersebut merupakan sight L/C (artinya, wesel ekspor yang harus dibuat oleh eksportir
adalah wesel
ekspor yang harus segera dibayar seketika wesel
itu diterima importir).
Atau
mungkin juga itu merupakan standby L/C (SBLC), yakni L/C yang berfungsi sebagai
jaminan untuk pembiayaan yang diberikan bank pembuka L/C kepada beneficiary
L/C. Dalam kasus Bank BNI, L/C tersebut merupakan usance L/C dan SBLC.
Dicatat
pula dalam work sheet tersebut adalah dokumen-dokumen apa saja selain wesel ekspor yang harus
diserahkan oleh eksportir kepada negotiating bank atau paying bank (bank
pembayar, dalam hal ini Bank BNI Kebayoran Baru).
Dalam
work sheet, bank penerima L/C harus mencatat keganjilan-keganjilan
(unusualities) dilihat dari ketentuan intern bank penerima (dalam hal ini Bank
BNI), kebiasaan-kebiasaan yang berlaku bagi transaksi bisnis yang terkait
dengan transaksi L/C tersebut, dari ketentuan Bank Indonesia, dari UCP 500
(ketentuan internasional yang mengatur tentang L/C), dari peraturan
perundang-undangan Indonesia.
Pada
waktu bank penerima melakukan negosiasi (mengambil alih) wesel ekspor dan dokumen-dokumen ekspor
lainnya, petugas bank harus memeriksa apakah dokumen-dokumen yang diserahkan
eksportir terdapat kesesuaian (comply with) dengan syarat-syarat L/C.
Bila
tidak terdapat kesesuaian (terjadi discrepancies), dalam work sheet harus
dicatat pula. Selain itu, dalam work sheet dicatat pula apa yang telah
dilakukan bank penerima berkaitan dengan adanya discrepancies tersebut.
Pertanyaan
sehubungan dengan kasus ini adalah apakah Bank BNI Kebayoran Baru telah mengisi
work sheet tersebut? Menurut informasi, Bank BNI Kebayoran Baru ternyata tidak
membuat work sheet, sedangkan work sheet merupakan salah satu sarana pengamanan
bagi para petugas dan pejabat bank yang terkait dan bertanggung jawab dengan
L/C tersebut.
SEBAGAIMANA
telah dikemukakan di atas, bank-bank pembuka L/C tersebut bukan koresponden
Bank BNI. Apakah bank penerbit L/C (issuing bank) harus merupakan bank
koresponden? Bank pembuka L/C tidak selalu harus bank koresponden.
Apabila
bank penerima L/C ingin bertindak sebagai paying bank, misalnya karena
eksportir adalah nasabah baiknya, bank harus menerima konfirmasi terlebih
dahulu dari bank pembuka L/C tersebut.
Apabila
bank pembuka bukan bank koresponden, bank penerima seyogianya hanya bertindak
sebagai advising bank saja. Artinya, bank penerima tersebut hanya bertindak
sebagai bank yang meneruskan L/C kepada beneficiary saja tanpa memberikan
kesanggupan untuk bertindak sebagai paying bank.
Dalam
hal bank pembuka bukan bank koresponden, bank penerima L/C dapat bertindak
sebagai paying bank hanya apabila L/C tersebut dijamin oleh salah satu bank
koresponden atau oleh salah satu bank berperingkat "triple A".
Mengapa disyaratkan bahwa bank pembuka L/C harus suatu
bank koresponden? Hal ini disebabkan dengan bank koresponden tersebut ada suatu
perjanjian hubungan koresponden yang memuat, antara lain pemberian credit line
(pendanaan) untuk masing-masing transaksi
Pertanyaan lain adalah apakah cabang bank penerima L/C
dibatasi kewenangannya untuk bertindak sebagai paying bank? Suatu cabang bank
penerima pada umumnya dibatasi kewenangannya oleh direksi bank untuk mengambil
alih wesel ekspor dan membayarnya.
Dalam kasus Bank BNI, ternyata L/C tersebut tidak dibuka
dalam satu L/C dengan jumlah yang sekaligus besar, tetapi dipecah-pecah menjadi
banyak L/C yang jumlah untuk masing-masing L/C masih dalam batas kewenangan
pemimpin cabang.
Dengan demikian, kantor cabang bank yang bersangkutan
tidak perlu harus meminta persetujuan atasannya (dalam hal kasus ini adalah
sampai ke tingkat kantor wilayah atau kantor besar).
Menurut ketentuan Undang-Undang Perbankan, bank harus
selalu berhati-hati dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Berkenaan dengan
transaksi L/C Bank BNI Kebayoran Baru tersebut, kehati-hatian bank itu antara
lain menyangkut siapa yang menjadi beneficiary L/C.
Apakah beneficiary adalah nasabah bank penerima dan
bagaimana reputasinya selama ini? Apakah beneficiary memiliki kemampuan untuk
melaksanakan transaksi komoditas sebagaimana yang dimaksud dalam L/C.
Apabila, misalnya, transaksi itu bukan merupakan bidang
usaha beneficiary yang digelutinya selama ini, bank seyogianya waspada.
Keharusan untuk bank berhati-hati itu ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No 10 Tahun 1998.
Pelanggaran terhadap ketentuan itu dapat diancam dengan
pidana penjara dan pidana denda berdasarkan Pasal 49 Ayat (2) Huruf b
Undang-Undang Perbankan.
APAKAH kehati-hatian itu sudah dilakukan Bank BNI Kebayoran
Baru? Apabila menurut penelitian bank penerima beneficiary bukan merupakan
beneficiary yang bonafide, Bank BNI Kebayoran Baru seyogianya tidak mengambil
alih wesel ekspor berjangka dengan mendiskonto wesel yang diajukan oleh
eksportir.
Yang dimaksudkan dengan mengambil alih wesel ekspor
berjangka tersebut dengan mendiskonto adalah membayar harga wesel sekarang
dengan harga yang lebih murah daripada nilainya karena bank baru bisa
memperoleh pembayaran untuk nilai penuh wesel itu pada jatuh waktunya yang masih
beberapa bulan lagi (pada umumnya 90 hari setelah wesel diterima oleh bank
pembuka L/C).
Sepengetahuan penulis, sistem dan prosedur pengamanan
transaksi L/C, khususnya di bank-bank BUMN, termasuk Bank BNI, cukup baik
karena telah dibangun dan disempurnakan selama bertahun-tahun, antara lain
berdasarkan pengalaman- pengalaman pahit masa lampau.
Akan tetapi, sistem pengamanan yang baik saja tidak
cukup. Masih diperlukan sikap dari para petugasnya. Sekalipun sistem pengamanan
sudah demikian baik, tetapi apabila para petugas bank sengaja melanggar sistem
dan prosedur dengan tujuan yang tidak baik, bank akan kebobolan juga.
Bank selalu dihadapkan pada pilihan dilematis antara
pengamanan dan pelayanan kepada nasabah. Pengamanan yang terlalu ketat akan
menghasilkan pelayanan yang mengecewakan nasabah.
Sebaliknya, pelayanan yang dirasakan sangat memuaskan
nasabah akan mengorbankan sistem pengamanan. Menghadapi dilema ini, bank harus
bijak dan mampu membangun prosedur kerja yang tetap dapat menjamin keamanan,
namun pelayanan bank memuaskan bagi nasabah.
Dari penelitian, ternyata transaksi dalam kasus Bank BNI
ini merupakan transaksi bermasalah dengan indikasi transaksi tersebut dilakukan
tanpa mengikuti ketentuan intern Bank BNI. Transaksi usance L/C kedua grup usaha
yang menjadi beneficiary telah dinegosiasikan oleh Bank BNI Kebayoran Baru
dengan diskonto tanpa didahului adanya akseptasi dari bank penerbit.
Di samping itu, dokumen-dokumen L/C mengandung
penyimpangan dan negosiasi L/C dilakukan tanpa kelengkapan dokumen.
Berdasarkan
hasil investigasi yang dilakukan oleh kantor besar Bank BNI, para eksportir,
yaitu perusahaan-perusahaan yang termasuk Gramarindo Group dan Petindo Group
ternyata telah melakukan ekspor fiktif.
Hal
ini terungkap antara lain dari hasil verifikasi kepada Pejabat Bea Cukai cabang
Belitung menyangkut Pemberitahuan Ekspor
Barang (PEB) Gramarindo Group, Pejabat Bea Cukai cabang Belitung
menyatakan bahwa PEB tersebut palsu.
Sementara
itu pula, penyelesaian pembayaran hasil transaksi ekspor (proceed) dari
beberapa slip L/C tersebut yang telah dinegosiasikan dilakukan bukan oleh bank
pembuka L/C (issuing bank), melainkan dilakukan oleh para eksportir sendiri
dengan cara melakukan penyetoran atau melalui pendebetan rekening para
eksportir tersebut.
Sebagaimana
diketahui, atas laporan kantor besar Bank BNI pada tanggal 30 September 2003,
pihak kepolisian telah menahan pegawai Bank BNI Kebayoran Baru yang terlibat,
yaitu Koesadiyuwono (mantan pemimpin cabang Bank BNI Kebayoran Baru) dan Edi
Santoso (mantan Customer Service Manager Luar Negeri cabang Bank BNI Kebayoran
Baru).
SUMBER :
Sutan Remy Sjahdeini Guru
Besar Hukum Perbankan dan Mantan Bankir
Berikut ini Analisis dari kasus diatas :
1.
Pembeli (Buyer) yaitu Koesadiyuwono
(mantan pemimpin cabang Bank BNI Kebayoran Baru) dan Edi Santoso (mantan
Customer Service Manager Luar Negeri cabang Bank BNI Kebayoran Baru).
2.
Penjual (Seller) yaitu Perusahaan-perusahaan
yang termasuk Gramarindo Group dan Petindo Group ternyata telah melakukan
ekspor fiktif.
3.
Bank Eksportir yaitu Dubai Bank Kenya
Limited; Rosbank Switzerland SA; Middle East Bank Kenya Ltd; dan The Wall
Street Banking Corp, Cook Islands Beneficiary (eksportir).
4.
Bank Importir yaitu Bank BNI
5.
Barang yang diperjualbelikan yaitu Komoditas yang
diekspor adalah pasir kuarsa dan residu minyak dengan negara tujuan Kenya dan
beberapa negara di Afrika.